RELEVANSI AGAMA DENGAN FILSAFAT
Di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Drs. Ahmad Rowi, M.H
Di Susun Oleh:
Ahmad Mu’arif
C.1.4.11.0042
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
DEMAK
Ta. 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Filsafat Islam
pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana mempertemukan agama sebagai
wahyu Tuhan dengan filsafat sebagai hasil ciptaan dan pikiran manusia.
Permaslahan ini muncul ketika kebenaran agama harus di pertemukan dengan
kebenaran filsafat yang berlandaskan pemikiran dan logika.
Alternatif
jawaban atas pertanyaan tersebut tidak lebih dari tiga kemungkinan. Pertama,
berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendapat orang
beragama yang tidak berfilsafat. Kedua, berpegang teguh kepada filsafat
dan menolak agama. Ini adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak
mengindahkan kaidah – kaidah agama. Ketiga, mengupayakan pemaduan antara
filsafat dengan agama.
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian Agama
2.
Pelayanan Filsafat Terhadap Agama
3.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Agama
2.
Mengetahui Pelayanan Filsafat Terhadap Agama
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Agama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah ajaran, sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya.
Mukti Ali pernah
mengatakan, “bahwa barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi
pengertian dan definisi selain kata agama”. Pernyataan ini didasarkan pada tiga
alasan, yaitu[1]:
1.
Bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subjektif, dan sangat individualis
sifatnya.
2.
Barang kali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada
orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama
selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit didefinisikan.
3.
Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan
definisi tersebut.
Mukti Ali, M.
Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai
masalah agama secara umum ialah adanya perbedaan - perbedaan dalam memahami arti
agama, di samping adanya perbedaan juga dalam cara memahami serta penerimaan
setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki
interprestasi (tafsiran) diri yang berbeda dan keluasan interprestasi diri itu
juga berbeda-beda.[2]
Pengertian agama
dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun
Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama,
dikenal pula kata din ( دِيْنٌ ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian
Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, A = tidak dan GAM =
pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara
turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu
diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Selanjutnya, ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama adalah teks atau
kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya
dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntutan. Pengertian ini tampak
menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Selanjutnya din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan.
Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat
peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut agama
yang bersangkutan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin. Menurut
satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi
adalah relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu
juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut
pendapat lain, kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Ikatan ini
mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan
itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan
gaib yang tak dapat ditangkap oleh panca indra.
2.
Pelayanan Filsafat Terhadap Agama
Filsafat sekurang – kurangnya dapat menyumbangkan empat
pelayanan pada agama, di antaranya:
Pertama,
Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah
interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan
dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna
dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita
begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi
bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir.
Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda
dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah
seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang
terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk
menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah,
dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk
mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja
membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan
memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari
jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan
muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar
secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam
memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara
spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang
mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang
berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional dengan sangat
tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi
teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode - metode
tertentu, dan paham-paham serta metode - metode itu dengan sendirinya diambil
dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah
kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal
yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang
bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan
penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu
pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham -
paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nabi
Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ketiga,
filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya
masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak
dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang
moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana
orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak?
Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab
Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat
ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam
konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu
diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan
pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil
ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi
atau pada feminisme.
Keempat,
yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi
kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah
sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di
bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi,
dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan
kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat
menganalisa claim - claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya,
memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di
belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah.
Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan - pandangan
yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar
mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan
mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi - ideologi
saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain,
melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang
luar.
Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan,
apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu
Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk
membebaskan ajaran agama dari unsur - unsur ideologis yang menuntut sesuatu
yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah
interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan
dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya,
melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang
sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat
di simpulkan bahwa filsafat mempunyai hubungan dengan agama dengan memberikan
pelayanannya yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Membantu agama dalam mencari arti wahyu.
2.
Membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu.
3.
Membantu agama dalam menghadapi masalah – masalah baru.
4.
Menganalisa claim – claim ideologi secara kritis.
Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada
Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta; PT.
Raja Grafindo Persada.
http://untunkcell.blogspot.com/2012/02/relevansi-agama-dan-filsafat.html,
di akses tanggal 02 Februari 2012
[1] A. Mukti Ali, Universitas
dan Pembangunan, (Bandung; IKIP Bandung, 1971), hlm. 4. lihat kutipan
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), cet. IX, hlm. 8.
[2] M. Sastraprateja, Agama dan
Kepedulian Sosial dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas
Bangsa, (Jakarta; P3M, 1991), cet. I, hlm. 29.
0 comments:
Post a Comment