MAKALAH
PEMERINTAHAN
SEBAGAI FILSAFAT POLITIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Abdul
Halim, M. Ag
Disusun Oleh :
Ainun
Najib
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2011
PEMERINTAHAN SEBAGAI
FILSAFAT POLITIK[1]
A. Latar Belakang
Filsafat
politik membahas persoalan-persoalan politik dengan berpedoman pada suatu
sistem nilai dan norma-norma tertentu.
Dari
pengertian tersebut jelaslah bahwa untuk menyelami filsafat politik suatu
negara atau bangsa terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem nilai dan norma
yang berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan pada negara atau bangsa
tersebut; dalam terminologi politik disebut ideologi. Karena sukar bagi kita
untuk memahami filsafat politik suatu negara tanpa mengetahui landasan apa atau
takaran apa yang dipakai dalam menilai praktik-praktik penyelenggaraan
pemerintahan negara tersebut, karena hal itulah yang diyakini oleh negara
tersebut sebagai yang “terbaik” baginya.
Dalam kajian ideologi politik
maka dikenallah istilah: demokrasi, naziisme, komunisme yang dianut suatu
negara. Sehingga dengan istilah tersebut dapat diasosiasikan dengan sebuah nama
pelopornya/penganutnya seperti “Demokrasi” mengingatkan kita pada nama Thomas
Jefferson; “Naziisme” kepada Aldolf Hitler; “Fasisme” kepada Bennito Mussolini,
dan “Komunisme” kepada Karl Marx.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah filsafat politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara menurut wacana Barat?
2.
Bagaimanakah filsafat
politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara menurut wacana Islam?
3.
Bagaimanakah pemikiran filsafat politik
dalam berbagai wacana?
C. Pembahasan
1.
Filsafat politik zaman Yunani
kuno, menganut paham idealisme dalam politik, namun Aristoteles lebih bersifat
empirik. Pada zaman Romawi lebih mengkaji sistem kenegaraan yang lebih luas
(imperium), masalah hukum, administrasi kenegaraan. Pada zaman pertengahan,
pemikiran politik lebih bersifat teosentris dogmatik. Di samping itu feodalisme
merupakan bentuk pemikiran yang penting lainnya yang lahir pada abad
pertengahan.
2.
Pada zaman Renaisans, sebagai
era transisi antara abad pertengahan dan modern; dominasi akal mulai menggeser
dominasi iman dogmatis (gerejani) dalam pemikiran politik. Ini awal munculnya
rasionalisme, individualisme dan humanisme di Barat, yang kelak melahirkan
sekularisme politik.
3.
Filsafat politik liberalisme
merupakan antitesis dari filsafat politik feodalisme. Dalam paham ini, campur
tangan negara diperkecil dan wewenang rakyat diperluas. Antitesis terhadap
pemikiran politik liberalisme adalah filsafat politik konservatisme yang lebih
berpegang pada asas kolektivisme.
4.
Filsafat sosialisme merupakan
reaksi terhadap revolusi industri. Paham ini berasaskan pada konsep
humaniterianisme, sebagai embrio paham komunisme.
5.
Filsafat komunisme merupakan
kelanjutan dari sosialisme, sebagai antitesis terhadap paham kapitalisme.
Komunisme lebih berwatak radikal dan revolusioner.
6.
Filsafat politik fasisme
bersifat anti eksistensi hukum dan negara hukum, kebebasan individu, hak asasi
manusia, dan sangat diskriminatif. Jadi paham ini bersifat otoriter, totaliter,
dan korporatif.
7.
Filsafat politik demokrasi
merupakan perkembangan dari liberalisme. Paham ini menghargai kebebasan
individu serta kedaulatan rakyat. Paham ini berorientasi pada kemajuan sosial
ekonomi dan asas persamaan dan kemerdekaan.
8.
Filsafat politik nasionalisme
sebagai antisipasi terhadap fasisme dan sosialisme. Paham ini ingin menyatukan
sub-subideologi yang berakar pada suku, ras, agama dan sebagainya.
9.
Filsafat politik pragmatisme
berasaskan pada konsep “manfaat”, “kegunaan” dari sesuatu. Paham ini lebih
berorientasi pada segi-segi empirik dan fungsional.
1.
Filsafat politik Al-Farabi
tergolong ke dalam filsafat politik yang idealistik. Al-Mawardi lebih realistik
dan berorientasi kepada konsultan kenegaraan. Al-Ghazali menekankan soal
profesi kerja yaitu pertanian, pemintalan, pembangunan dan politik. Ibn
Taimiyah mengemukakan teori khilafah. Sementara Ibn Khaldun berpendapat bahwa
negara amat memerlukan solidaritas politik. Agama juga termasuk pendorong
lahirnya solidaritas bahkan lebih dominan daripada aspek lainnya.
2.
Dalam konteks politik Islam era
modern diwarnai pemikiran Al-Afghani, Abduh, Ridha, Al-Raziq, Al-Ikhwan,
Haikal, dan Al-Maududi. Filsafat politik Al-Afghani secara umum didasarkan pada
ide Pan-Islamisme (Al-jamia’ah al-Islamiyyah). Muhammad Abduh mempunyai pemikiran
lebih bercorak rasional (mu’tazilah), prinsip qadariyah (antroposentrik) yakni
kebebasan manusia dalam berkehendak (indeterminism). Ridha, secara filosofis
ingin kembali ke doktrin politik Khilafah dengan mana doktrin ini erat
kaitannya dengan penguasaan fiqih Islam. Ali Abd Al-Raziq menolak sama sekali
lembaga khilafah yang bersifat institusional. Bagi Al-Ikhwan, filsafat politik
Islam terlihat lebih didasarkan pada konsepsi Islam yang revolusioner. Filsafat
politik Haikal lebih ditekankan pada prinsip-prinsip dasar Islam sebagai
konsepsi tentang tauhid yang berimplikasi pada keharusan diwujudkannya prinsip
persatuan kemanusiaan secara utuh. Filsafat politik Al-Maududi bercorak
teokrasi atau teo demokrasi di mana teori kedaulatan Tuhan sebagai inti filsafat
politiknya. Ismail Raji Al-Faruqi, memperkenalkan konsep tauhid, amanah,
khilafah, bai’ah dan ummah (ummatisme) dalam filsafat politiknya. Syed Naquib
Al-Attas meletakkan konsep pemikiran politiknya pada ad-Din. Fazlur Rahman
penganut neo medernisme mendasarkan filsafat politiknya pada konsep musyawarah
atau syurah. Mohammad Arkoun filsafat politik yang anti terhadap simbol
gelar-gelar yang feodalistik. Filsafat politik Khomeni menurut Arkoun masih
bercirikan tradisional mitologis, belum modern, rasional, dan profesional.
Sayyed Hussein Nasr filsafat politiknya mencoba membedakan antara perspektif
tradisionalisme dengan modernisme Islam, fundamentalisme Islam, dan messianisme
atau mahdiisme.
3.
Beberapa Pemikiran
Filsafat Politik dalam Wacana
Komunisme merupakan salah satu bentuk
ideologi politik yang mewarnai penyelenggaraan pemerintahan pada beberapa
negara seperti RRC, Kuba dan dulu semua negara dalam Blok Uni Soviet.
Pendekatan paham ini didasarkan pada filsafat sejarah atas pertentangan dan
ekonomi, dan secara tegas-tegas telah dikemukakan dalam manifesto komunis.
Tujuan yang akan dicapai suatu masyarakat tanpa kelas yang terdiri dari para
penghasil yang bebas dan sama kedudukannya.
Fasisme yang dikenal di Italia dan Jerman menolak nilai-nilai
demokrasi, tetapi ingin tetap mempertahankan suatu bentuk kapitalisme sebagai
suatu sistem ekonomi. Fasisme menganut paham bahwa manusia tidak sama, tidak
boleh diberi perlakuan yang sama dan harus dipaksa mengakui ketidaksamaan.
Fasisme mempunyai dua aliran besar, yaitu Fasisme Mussolini dan Naziisme
Hitler.
Demokrasi menganut keyakinan bahwa individu sesuatu yang nyata dan
yang paling penting, dan negara disusun oleh individu-individu. Paham ini
menyatakan bahwa fungsi negara adalah mengabdi kepada warga negaranya.
Demokrasi menjunjung tinggi kebebasan individu, persamaan hak, dan perlindungan
hak asasi manusia.
D. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Filsafat politik membahas persoalan-persoalan politik
dengan berpedoman pada suatu sistem nilai dan norma-norma tertentu. Dalam wacana barat penyelenggaraan
pemerintahan terdiri dari berbagai macam paham. Dalam politik Islam Filsafat politik Al-Farabi tergolong ke dalam filsafat
politik yang idealistik. Al-Mawardi lebih realistik dan berorientasi kepada
konsultan kenegaraan. Dalam konteks politik Islam era modern diwarnai pemikiran
Al-Afghani, Abduh, Ridha, Al-Raziq, Al-Ikhwan, Haikal, dan Al-Maududi. Filsafat
politik Al-Afghani secara umum didasarkan pada ide Pan-Islamisme (Al-jamia’ah
al-Islamiyyah)
DAFTAR PUSTAKA
https://massofa.wordpress.com/2008/03/11/pemerintahan-sebagai-filsafat-politik/di
akses tanggal 23 Januari 2011
[1]
https://massofa.wordpress.com/2008/03/11/pemerintahan-sebagai-filsafat-politik/
0 comments:
Post a Comment